Senin, 07 Desember 2009





Program Landsat

Program Landsat adalah program paling lama untuk mendapatkan citra Bumi dari luar angkasa. Satelit Landsat pertama diluncurkan pada tahun 1972; yang paling akhir Landsat 7, diluncurkan tanggal 15 April 1999. Instrumen satelit-satelit Landsat telah menghasilkan jutaan citra. Citra-citra tersebut diarsipkan di Amerika Serikat dan stasiun-stasiun penerima Landsat di seluruh dunia; dimana merupakan sumber daya yang unik untuk riset perubahan global dan aplikasinya pada pertanian, geologi, kehutanan, perencanaan daerah, pendidikan, dan keamanan nasional. Landsat 7 memiliki resolusi 15-30 meter.
Sejarah
Program ini dulunya disebut Earth Resources Observation Satellites Program ketika dimulai tahun 1966, namun diubah menjadi Landsat pada tahun 1975. Tahun 1979, Presidential Directive 54 di bawah Presiden AS Jimmy Carter mengalihkan operasi Landsat dari NASA ke NOAA, merekomendasikan pengembangan sistem operasional jangka panjang dengan 4 satelit tambahan, serta merekomendasikan transisi swastanisasi Landsat. Ini terjadi tahun 1985 ketika EOSAT, rekan Hughes Aircraft dan RCA, dipilih oleh NOAA untuk mengoperasikan sistem Landsat dalam kontrak 10 tahun. EOSAT mengoperasikan Landsat 4 and 5, memiliki hak ekslusif untuk memasarkan data Landsat, serta mengembangkan Landsat 6 dan 7.


Citra satelit dengan warna-simulasi Kolkata diambil dari satelit Landsat 7.
Tahun 1989, transisi tersebut tak berakhir secara keseluruhan ketika pendanaan NOAA untuk program Landsat berakhir, dan NOAA menangani Landsat 4 dan 5 sebelum berakhir; namun Undang-undang Kongres AS menyediakan dana darurat untuk sisa tahun terakhir. Pendanaan ini terhenti lagi pada tahun 1990, dan sekali lagi Kongres menyediakan dana darurat untuk 6 bulan ke depan. Masalah pendanaan terjadi lagi tahun 1991, dan menghasilkan solusi serupa.
Tahun 1992, berbagai upaya dilakukan untuk mengucurkan dana untuk operasi lanjutan Landsat, namun pada akhir tahun EOSAT mengentikan pengolahan data Landsar. Landsat 6 diluncurkan pada tanggal 5 Oktober 1993, namun mengalami kegagalan peluncuran. NASA akhirnya meluncurkan Landsat 7 pada tanggal 15 April 1999.
Landsat 1 (mulanya dinamakan Earth Resources Technology Satellite 1) - diluncurkan 23 Juli 1972, operasi berakhir tahun 1978
Landsat 2 - diluncurkan 22 Januari 1975, berakhir 1981
Landsat 3 - diluncurkan 5 Maret 1978, berakhir 1983
Landsat 4 - diluncurkan 16 Juli 1982, berakhir 1993
Landsat 5 - diluncurkan 1 Maret 1984, masih berfungsi
Landsat 6 - diluncurkan 5 Oktober 1993, gagal mencapai orbit
Landsat 7 - diluncurkan 15 April 1999, masih berfungsi

Landsat 7
Landsat 7 adalah satelit paling akhir dari Program Landsat. Diluncurkan pada tanggal 15 April 1999. Tujuan utama Landsat 7 adalah untuk memperbarui arsio citra satelit, menyediakan citra yang up-to-date dan bebas awan. Meski Program Landsat Program dikelola oleh NASA, data dari Landsat 7 dikumpulkan dan didistribusikan oleh USGS. Proyek NASA World Wind memungkinkan gambar tiga dimensi dari Landsat 7 dan sumber-sumber lainnya untuk dapat dengan mudah dinavigasi dan dilihat dari berbagai sudut.
Landsat 7 dirancang untuk dapat bertahan 5 tahun, dan memiliki kapasitas untuk mengumpulkan dan mentrasmisikan hingga 532 citra setiap harinya. Satelit ini adalah polar, memiliki orbit yang sinkron terhadap matahari, dalam arti dapat memindai seluruh permukaan bumi; yakni selama 232 orbit atau 15 hari. Massa satelit tersebut 1973 kg, memiliki panjang 4,04 meter dan diameter 2,74 meter. Tak seperti pendahulunya, Landsat memiliki memori 378 gigabits (kira-kira 100 citra). Instumen utama Landsat 7 adalah Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+).
Citra Satelit
Bulan Agustus 1998, NASA mengontrak EarthSat untuk memproduksi GeoCover - sebuah citra Landsat Thematic Mapper dan Multispectral Scanner yang ter-ortorektifikasi cukup akurat, meliputi sebagian besar permukaan bumi. GeoCover kemudian dipercanggih dengan EarthSat NaturalVue, Landsat 7 dengan warna asli yang didapat sekitar tahun 2000, yakni data citra yang ter-ortorektifikasi, ter-mozaik, dan telah diseimbangkan warnanya, dimana juga digunakan pada Google Earth dan Google Maps.

Citra Satelit Landsat Mampu Temukan Banjir
Kapanlagi.com - Citra satelit Landsat dan Spot yang mempunyai resolusi spasial dan spektral tinggi mampu membantu mencari faktor penyebab banjir, erosi dan tanah longsor dalam wilayah ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS).
"Kedua citra tersebut mampu memonitor perubahan penggunaan lahan pada tingkat ekosistem DAS, misalnya akibat penebangan liar serta penambangan galian pasir dan batu di kawasan lindung," kata Prof Dr Totok Gunawan MS pada pidato pengukuhan Guru Besar Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kamis.
Menurut dia, peran citra satelit Landsat dan Spot ysang mempunyai keunggulan dalam resolusi spasial dan spektral membantu dalam penyediaan data regional dalam penentuan lokasi Stasiun Pengamat Aliran Sungai (SPAS) untuk pemantauan banjir, sedimen, dan sampah, karena kemampuannya untuk menggambarkan kondisi karakter ekosistem DAS secara digital.
"Sistem Informasi Manajemen (SIM) banjir dan kekeringan yang ditunjang dengan pemanfaatan citra satelit Landsat dan Spot dapat dijadikan sebagai kerangka sistem peringatan dini kejadian banjir dan kekeringan," kata pria kelahiran Klaten, 3 Januari 1951 itu.
Selain itu, integrasi citra satelit Landsat dan Spot dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) mampu memetakan dan membuat tampilan menarik daerah rawan banjir dan kekeringan, gejala erosi, dan tanah longsor.
"Dengan mengetahui lahan sumber asal banjir dan sedimen diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pemberian rekomendasi lahan mana yang seharusnya dihijaukan sebagai daerah resapan air," katanya.
Selain citra satelit Landsat dan Spot, menurut dia, citra satelit Ikonos dan Quickbird yang mempunyai resolusi temporal tinggi juga mampu melakukan monitoring perubahan lahan yang marak akhir-akhir ini akibat alih fungsi lahan menjadi perumahan di pinggiran kota sebagai penyebab banjir.
Kedua citra satelit itu mempunyai reslusi spasial dan temporal tinggi, sehingga mampu mengikuti kecepatan perubahan lahan dalam periode mingguan bahkan harian.
"Integrasi kedua citra satelit tersebut dengan SIG mampu menentukan di mana lokasi pembangunan talud dan monitoring erosi tebing sungai serta daerah rawan genangan banjir dan rawan kekeringan, bahkan daerah rawan penyakit yang terkait dengan kesehatan lingkungan," ujar dia.
Ia mengemukakan, peristiwa banjir yang terjadi di wilayah perkotaan, seperti Jakarta, Solo, Yogyakarta, dan Bandung disebabkan adanya semenisasi halaman dan perkerasan jalan di kompleks perumahan.
Di sisi lain, banjir yang sering terjadi di wilayah perkotaan pantai seperti Jakarta dan Semarang disebabkan adanya pembangunan perumahan pada lahan bekas rawa, drainase jelek, dan sering terjadi kenaikan muka air laut (rob).
Menurut dia, citra satelit yang mampu mengimbangi kecepatan pembangunan perumahan di wilayah perkotaan yang cukup rapat dan dinamik tersebut adalah citra satelit Ikonos dan Quickbird.
"Melalui citra satelit itu dapat dipetakan pola pembangunan perumahan dan sebaran spasialnya, sehingga secara spasial-temporal ekologis dapat diprediksi daerah mana yang mempunyai debit limpasan tinggi, yang menurut struktur dasar dan fungsi ruang sebenarnya merupakan daerah resapan air," katanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar